Random Post
to show post by tag/label, fill tagName like this: ex:label blogger ---> tagName:"blogger" to show recent post change RandompostActive value to false like this : RandompostActive:false
Friday 12 September 2014

21:11
Ilustrasi di Media massa.
Kosakata Arkais
Rahmad Nuthihar, mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Unsyiah.

Degradasi bahasa terjadi dalam bahasa Indonesia maupun bahasa daerah (lokal). Tanpa disadari kosakata yang umumnya terdapat dalam bahasa Indonesia justru memungut istilah dari bahasa asing seperti: kosakata dari bahasa Inggris, Belanda, ataupun Arab. Kemunduran ini di antaranya disebabkan penguasaan kosakata yang minim. Hal ini bukanlah serta-merta mengedepankan purisme berbahasa akan tetapi, dikhususkan bagaimana berkomunikasi dengan bahasa Indonesia yang baku dan komunikatif. Kridalaksana (2009) mengungkapkan unsur bahasa yang tidak lazim tetapi dipakai untuk efek-efek tertentu yang kadang-kadang muncul dalam bahasa kini disebut dengan arkaisme (archaism, atavism, reviral form).  Akhiran –me pada kata arkais ini bermakna cara (gaya) yang bersifat arkais (KBBI).

Contoh dari kosakata arkais ini dapat diamati dalam kalimat; konon tsunami di Aceh karena manusia sudah ingkar pada Allah. Kata konon dalam kalimat tersebut merupakan kosakata arkais di mana pemakaian kosakata ini sudah tidak lazim digunakan serta digantikan dengan kata lain sepertinya, agaknya, kemungkinan. Padahal dari kelas kata arkais kata konon adalah kata yang memberikan keterangan pada verba (adverbia). Sementara kata sepertinya merupakan kelas kata kerja (verba), agaknya adverbia, dan kemungkinan dari kelas kata nomina.

Pemakaian kosakata gerangan juga hampir tidak lagi kita temukan dalam artikel ilmiah populer (kecuali sastra). Gerangan juga merupakan kosakata arkais yang bermakna sama dengan kata konon dan sama-sama dari kelas kata adverbia. Selain dua contoh kosakata arkais yang telah diuraikan masih banyak terdapat kosakata arkais lainnya di dalam bahasa Indonesia dan tidak digunakan lagi. Kosakata arkaisme kebanyakan terdapat di dalam bahasa daerah. Hal ini disebabkan perbendaharaan kosakata di dalam bahasa daerah sedikit serta terdiri atas beberapa dialek yang berbeda.

Di dalam bahasa daerah, misalnya bahasa Aceh. Para penutur tidak lagi mengetahui makna kosakata arkais apalagi digunakan dalam peristiwa tutur sehari-hari. Hasil penelitian yang saya lakukan dengan melibatkan 10 informan yang berbahasa ibu (BI) bahasa Aceh dalam kuesioner yang saya berikan menyimpulkan: delapan orang menjawab tidak mengetahui maknanya dan digunakan dalam tindak tutur sehar-hari; dan selebihnya menjawab mengetahui maknanya dan tidak menggunakannya lagi. Dalam kuesioner tersebut, berisikan empat kalimat di mana pemakaian kosakata tersebut tidak digunakan lagi dalam komunikasi sehari-hari.

Keempat kalimat tersebut di dalamnya terdapat kosakata arkais dan saya tandai dengan menggarisbawahi kosakata tersebut agar informan fokus pada pertanyaan yang saya ajukan. Keempat kata-kata tersebut adalah: akeumak (kelupaan, sombong, menyesal, buruk tanggung); bhôm (tanah perkuburan keluarga); halé (hadir); dan juadah (roti kering).

Kosakata dan kalimat dalam bahasa Aceh tersebut saya kutip dari kamus bahasa Aceh karangan Abu Bakar (2001) di mana kalimat tersebut adalah: 1. Allah, lôn that akeumak that lôn hana lôn tawok gobnyan (Allah, saya menyesal sekali karena terlupa tidak mengundangnnya menghadiri kenduri); 2. geutanom bak bhôm geutanyoe (dikuburkan di tempat pemakaman kita); 3. ka halé, neubismillah (sudah siap, harap dibismilahkan); 4. ka ba siat juadah nyan kenoe! (bawa ke sini roti kering itu).
Berangkat dari persoalan tersebut, seharusnya pemerintah daerah melalui lembaga terkait mengimplementasikan Undang-undang nomor 29 tahun 2009 tentang bendera, lagu kebangsaan, lambang negara, dan bahasa. Dalam hal ini dijelaskan secara spesifik menyangkut fungsinya di bidang pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa Indonesia pasal 42 ayat 2 berbunyi: pemerintah  daerah  wajib  mengembangkan,  membina, dan  melindungi  bahasa  dan  sastra  daerah  agar  tetap  memenuhi  kedudukan  dan  fungsinya  dalam  kehidupan  bermasyarakat  sesuai  dengan  perkembangan  zaman  agar  tetap  menjadi  bagian  dari  kekayaan  budaya  Indonesia.

Marilah sama-sama kita tumbuhkan kepedulian rasa cinta terhadap bahasa Indonesia dan bahasa daerah! Khususnya pemerintah Aceh yang memiliki kekhususan yakni dana otonomi dibandingkan provinsi lain di Indonesia, sudah saatnya membakukan bahasa Aceh ragam tulis dengan mengeluarkan kamus bahasa Aceh yang wajib digunakan oleh seluruh penutur. Selama ini kantor Pusat Studi Bahasa Daerah Aceh (Pusbada) yang bernaung di bawah Universitas Syiah Kuala tidak mampu mejalankan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) terkendala dana. Karena untuk mengadakan kongres bahasa daerah serta menyusun kamus bahasa daerah yang terdiri atas beragam dialek di Aceh membutuhkan dana yang sangat besar. Jika hal ini tidak dilakukan, jangankan kosakata arkais yang tidak diketahui maknanya, dipastikan pemakaian bahasa Aceh diprediksikan akan punah ataupun bertutur ‘ke-aceh-aceh-an’. Semoga! (Dimuat di Serambi Indonesia, kolom kerjasama Serambi Indonesia dan Balai Bahasa Banda Aceh)

0 komentar:

Post a Comment