Foto; Antara |
Alangkah
terkesimanya saat saya membaca koran Serambi indonesia edisi Rabu, 4/9/2013
yang didalamnya memberitakan tentang pelantikan Kepala Sekolah (Kepsek) sebanyak
64 orang di Meulaboh. Tidak berakhir di situ, seakan tidak mau kalah dengan
Meulaboh, Jumat 06/9/2013 orang nomor satu di Aceh Barat Daya melantik kepala
sekolah sebanyak 90 orang. Jumlah yang lebih banyak dibandingkan Meulaboh. Sebernanya
ada apa dengan pelantikan kepala sekolah itu secara besar-besaran? Apakah hanya
sekadar membuktikan bahwa bupati punya berwenang untuk menunjuk, mengangkat,
melantik serta memberhentikan orang nomor satu di sekolah itu?
Berbicara
tentang prosedur pengangkatan Kepsek semua merujuk pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor
28 Tahun 2010, dan ada banyak tahapan yang harus dilalui oleh guru untuk
menjadi kepala sekolah dan tidak terkesan semudah melempar telor dan langsung
jadi. Pada Bab II syarat-syarat guru yang diberi tugas tambahan sebagai kepala
sekolah/madrasah, dijelaskan, persyaratan khusus guru yang diberi tugas
tambahan sebagai kepala sekolah/madrasah meliputi; memiliki sertifikat kepala
sekolah/madrasah pada jenis dan jenjang yang
sesuai dengan pengalamannya sebagai pendidik yang diterbitkan oleh lembaga yang ditunjuk dan ditetapkan Direktur
Jenderal (Pasal 3 Permendiknas Nomor 28 Tahun 2010).
Menjadi
kepala sekolah adalah posisi yang sangat signifikan terhadap keberhasilan visi
dan misi lembaga pendidikan itu sendiri. Hal ini dilihat pada peranan kepala
sendiri yang mencakupi kepemimpinan formal, kepemimpinan administratif,
kepemimpinan supervisi, kepemimpinan organisasi, dan kepemimpinan tim
Sergiovanni (1991). Pada point
Kepemimpinan tim, peran Kepsek haruslah membangun kerja sama yang baik di antara
semua anggota agar bisa mewujudkan tujuan organisasi sekolah secara optimal.
Maka seorang yang dipercayakan menapuk jabatan sebagai Kepsek haruslah
orang-orang yang berkompetensi, pengalaman dan yang terpenting diterima oleh
semua kalangan. Diterima oleh semua kalangan yang saya maksudkan di sini adalah
peka terhadap lingkungan dan menjalin silahturrahmi dengan semua pihak, baik
itu muspika setempat maupun masyarakat sekitar. Sehingga harmonisasi pendidikan
di dalam masyarakat bisa tercipta.
Kembali
pada persoalan tentang pelantikan kepala sekolah besar-besaran, sepertinya
kepala dinas pendidikan Aceh harus mengevaluasi mengenai kriteria dan
syarat-syarat menjadi kepala sekolah. Pada hakikatnya pelantikan kepsek itu
sendiri cukup bagus, karena yang menduduki kepsek itu pada dasarnya orang-orang
yang sama dan dialihtempatkan ke sekolah yang lain. Penyegaran ini juga sudah
semestinya dilakukan untuk mengantisipasi tingkat kejenuhan dan pendistribusian
secara merata, sehingga tidak ada alasan “Karena Si Pulan kepala sekolah maka mutu pendidikan dan kelulusan UN
di sekolah itu tinggi.” Akan tetapi, kembali lagi pada profesionalitas seorang
personal yang bakal dijadikan kepala sekolah. Diharapkan dinas pendidikan
haruslah se-selektif mungkin dalam meluluskan calon kepala sekolah.
Pendidikan di Aceh krisis moral
Sepekan
lalu kita sudah melewatkan momen bersejarah dalam dunia pendidikan yakni Hari
Pendidikan Daerah (Hardikda) yang peringatannya dipusatkan di Darussalam, Banda
Aceh 2 September lalu. Berjelang beberapa hari setelah peringatan Hardikda itu,
kabar yang tidak menyenangkan pun mencuat hingga menjadi isu nasional lantaran
mengenai kuesioner yang menanyakan ukuran organ vital umat adam ini. Dimana
kuesioner tersebut dianggap melanggar hak privacy seseorang dan diberikan
kepada orang yang belum cukup umur yakni siswa SMP kelas 1 Sabang.
Seakan
ingin menjadi training topic di jejaring sosial, pendidikan di Aceh kembali
dilanda krisis moral diantaranya penyerangan yang dilakukan oleh sejumlah siswa
ke MAN Model Banda Aceh. Akibatnya beberapa siswa MAN Model terluka dan
dilarikan ke rumah sakit. Pendidikan di Aceh saat ini benar-benar dilanda krisis
moral, konon lagi berbicara tentang kualitas dan kelulusan Ujian Nasional,
provinsi di ujung Sumatera ini, menduduki posisi paling terakhir di Indonesia.
Jika
kita mencari kambing hitam menyangkut keterpurukkan dunia pendidikan di Aceh
sepertinya tidak akan pernah bertemu dan sudah menjadi lingkaran setan. Jika
dibetulkan satu, maka masalah lainnya akan menyusul. Pemerintah sepertinya
harus bekerja keras guna membangkitkan kembali muruah pendidikan Aceh yang
bernafaskan islam. Penamanan nilai-nilia keislami menjadi jalan keluar untuk
masalah krisis moral itu sendiri. Pogram gubernur yang sudah dicanangkan beut
ba’da magrib haruslah benar-benar dijalankan di seluruh pelosok negeri Aceh
ini. Dengan hal ini, dampak positif nantinya pada anak bangsa selain memangkas
waktu untuk berkeluyuran di malam hari, pengajian ini sendiri adalah alternatif
pendidikan islami yang bersifat non formal tanpa mengenal usia, sehingga
siapa-saja dapat bergabung di dalamnya.
Selain
itu, peningkatan mutu pendidikan ini sendiri harulah dimulai dari guru itu
sendiri. Kedinamisan guru dalam pembelajaran sangatlah menentukan output yang
baik seperti yang dinginkan dalam hasil pembelajaran. Dinamika guru dalam pembelajaran ini
berhubungan langsung dengan peserta didik, diantaranya; bahan ajar, suasana
belajar, media sumber belajar, guru sebagai sumber belajar. Maka seorang yanng
menjadi guru bukanlah orang-orang asal-asalan dan terkesan fakultas keguruan
adalah tempat pelarian mahasiswa yang tidak lulus di kedokteran atawa teknik.
Salah
seorang pakar pendidikan Benjamin S. Bloom pada tahun 1956 mengatakan, tujuan
pendidikan dibagi menjadi beberapa domain (ranah, kawasan) dan setiap domain
tersebut dibagi kembali ke dalam pembagian yang lebih rinci berdasarkan
hirarkinya. 1. Cognitive Domain
(Ranah Kognitif), yang berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek
intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir. 2. Affective Domain (Ranah Afektif) berisi
perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi, seperti minat,
sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri. 3. Psychomotor Domain (Ranah Psikomotor) berisi perilaku-perilaku yang
menekankan aspek keterampilan motorik seperti tulisan tangan, mengetik,
berenang, dan mengoperasikan mesin (wikipedia). Oleh karana itu, ke depan kita
harapakan dunia pendidikan di Aceh akan berubah menjadi lebih baik. Dengan
alokasi dana yang melimpah sudah saatnya Aceh meninggal ketinggalan dari
provinsi lain di dalam hal pendidikan. Karena pada intinya tidak ada manusia
yang bodoh melainkan malas, dan kepada guru yang ada di Aceh mari kita
optimalkan kegiatan pembelajaran, karena mendidik menentukan kehidupan
putra-putri penerus bangsa. Semoga!
Rahmad Nutihar, mahasiswa
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Syiah Kuala
0 komentar:
Post a Comment