Ilustrasi Kucing foto/google |
DALAM masyarakat Aceh terdapat ungkapan: lagee tareupah aneuk jôk bak abah bui, lagee keuleudee, lagee keubiri jikap lé asee, lagee bue drop daruet, lagee bieng bak abah bubee, lagee bacé, lagee mie prèh panggang, lagee mie keueueng, lagee mie teukoh iku, lagee mie ngön tikôh, lagee mie pajôh aneuk, dan mie agam. Semua ungkapan ini, unsur kata nama binatang dikombina
si dengan unsur-unsur kata lain. Namun, ada juga yang tidak dikombinasikan dengan unsur kata lain, misalnya bui, leumo, keuleudee, uleue, buya, tikoh, dan mie. Ungkapan tersebut masing-masing memiliki makna berbeda, yang umumnya digunakan untuk mendeskripsikan, menganalogikan, dan mengumpamakan karakter, tabiat, perangai, dan prototipe atau tindakan seseorang yang dipandang negatif yang harus dijauhkan. Jika kita perhatikan secara cermat, ada kecenderungan bahwa orang Aceh agak ekstrem dalam hal penggunaan diksi dalam ungkapannya, yakni binatang. Binatang yang dirujuk pun cederung kepada binatang-binatang yang kurang bersahabat dengan manusia.
Ungkapan-ungkapan tersebut dapat bersifat multitafsir, sesuai dengan konteks pemakaiannya. Artinya, penjabaran tafsiran maknanya dapat dirujuk kepada apa atau siapa saja yang sesuai. Kepada yang disebut uleue atau lhan (ular), bisa bermakna yang suka menelan sesuatu yang besar-besar yang bukan miliknya. Hal ini biasa ditujukan kepada para koruptor dan sejenisnya. Di pihak lain, kepada yang suka kepada sesuatu secara berlebihan atau di luar kewajaran juga bisa disebut uleue, seperti that uleue-ih keu inöng (sangat doyan ia kepada perempuan).
Bermental otoriter
Bagimana dengan mie (kucing)? Seperti telah disampaikan di atas, ada beberapa ungkapan yang terdapat unsur hewan kalem ini. Namun, dalam kesempatan dan ruang yang terbatas ini satu saja saya ambil dan pasang pada konteks kekinian, yaitu mie; Mie agam la-én dalam han jeuet na mie agam la-én (tidak boleh ada kucing jantan lain). Dalam konteks kehidupan manusia, ada orang yang bermental seperti kucing jantan ini, berlaku otoriter, arogan, premanisme, egois, dan sebagainya. Dia tidak rela orang lain maju; berprestasi, apalagi jika mengganggu posisi atau popularitasnya. Baginya, tidak boleh ada orang lain yang berpotensi menyainginya.
Ibarat seekor kuncing jantan yang “menguasai” suatu wilayah, tidak mengizinkan kucing-kucing jantan lain “mencumbui” kucing betina yang ada di “wilayah kekuasaannya”, atau seekor kuncing jantan yang memangsa anaknya (mie pajôh aneuk) karena dikhawatirkan kelak anaknya itu akan mengganggu eksistensinya. Orang yang berprototipe seperti ini, perbuatan, sikap, dan perkataannya cenderung egois, otoriter, memaksa kehendak, dan mempertahankan status quonya terhadap sesuatu. Itulah manusia atau golongan manusia yang terlalu berkuasa atas manusia atau golongan manusia lain.
Dalam kenyataan kehidupan, sikap otoriter, arogansi, dan egoisme seseorang atau sekelompok orang atas seseorang atau sekelompok orang lainnya acap dipertontonkan secara terang-terangan kepada khalayak. Sepertinya sikap tersebut telah berterima dalam komunitas masyarakat kita, padahal perangai tersebut sangat bertentangan dengan ruh ajaran agama mama pun, lebih-lebih dalam ajaran Islam. Janganlah merasa diri sebagai orang yang paling benar, paling pintar, paling mampu, paling berkuasa, dsb. Hargai dan berilah kesempatan kepada orang lain untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kapasitas dan otoritas yang dimilikinya.
Melalui ruang-ruang publik kita selalu disodorkan fenomena yang berkaitan dengan kesemena-menaan manusia atau sekelompok terhadap manusia atau sekelompok manusia lainnya. Fenomena tersebut terjadi pada semua tataran, mulai dari si awam yang picik sampai dengan sang akademik yang licik. Kasus demi kasus yang terjadi di negeri kita, di sekitar kita membuktikan bahwa betapa realitas kehidupan ini telah terbumbui oleh perilaku genocide manusia atas manusia. Nyawa manusia begitu mudah “dicabut” oleh manusia. Harga diri manusia begitu mudah “dikebiri” oleh manusia.
Kasus-kasus terbaru di berbagai belahan bumi yang menelan banyak korban jiwa. Dalam sebuah proses politik, misalnya, seseorang atau sekelompok orang, demi melanggengkan kekuasaannya, ia atau mereka menghalalkan berbagai cara, menebar fitnah, menyulut kebencian memantik amarah, bahkan tak segan menyingkirkan siapa saja yang diperkirakan akan menghalangi tujuannya. Perilaku seperti ini terjadi akibat penyakit takabbur (angkuh atau sombong) yang ada di dalam hati sanubari manusia. “Intimidasi politik dalam meraih jabatan sangat dilarang agama,” demikian ungkap Guru Besar IAIN Ar Raniry, Prof Dr Yusny Saby MA (Serambi, 26/4/2013).
Ada pula manusia yang perkatannya mengindikasikan bahwa dialah yang dapat memberi bekas atau menentukan hitam putihnya nasib orang lain. Dalam masyarakat Aceh misalnya, sering kita dengar ucapan: “Si Pulan nyan kön kèe peurayek”, “Si Pulén nyan kön kèe peucaröng”, “Si Pulén nyan kön kèe bri bu”, “Awak nyan panè jeuet-ih lagè geutanyô pubuet”, “Awak nyan peue keumah, apam”, “Meunyô na nyang ganggu kah peugah bak kèe, mangat jituri soe kèe”, “Meunyô han ék kupoh jih, bèk kakheuen nan kèe Ma’op”, “Meunyô kah agam ci kadöng sigö, mangat kuwiet takue-keuh”, dan sebagainya nada-nada sambung-sumbang yang berirama sombong.
Selain itu, dalam masyarakat Aceh, sikap memandang remeh, lemah, kurang orang lain juga tecermin dari stigma awak geutanyô, awak gob, awak blah noe, awak blah deh, asoe lhôk, dan sebagainya. Demikianlah beberapa perbuatan, sikap, dan perkataan yang terindikasi melangkahi atau menafikan otoritas Allah swt. Karakter manusia yang seperti itu merupakan manifestasi suul qulub (hati yang buruk) dari komplikasi ujub, takabbur, dan dengki. Orang seperti ini biasanya takjub dan bangga dengan kelebihan atau kemuliaan yang ada dalam dirinya, dan takut jika semua itu hilang dari darinya.
Lebih dari itu, jika ketakutan akan hilangnya kelebihan atau kemuliaan tersebut dari dirinya sehingga ia mempertahankannya atau melawannya dengan berbagai cara, seperti mencurigai, memfitnah, bahkan mencelakai pihak yang menyebabkan hilangnya kelebihan atau kemuliaan yang ada dalam dirinya. Kata hati seperti itu dinamai dengki atau khianat atau cur’èk atau ku’èh atau pang’èh, dan sebagainya. Yang pasti, baik ujub, takabbur, maupun dengki sama-sama panglimanya maksiat.
Sesungguhnya, biang dari semua itu adalah karena manusia telah merampas pakaian Allah. Takabbur (angkuh atau sombong), antara lain, merupakan pakaian Khalik yang tidak layak dikenakan makhluk. Jika makhluk memaksa juga mengenakannya, akan muncul sikap-sikap yang berhaluan negatif yang sangat merugikan dirinya dan pihak lain. Otoriter, arogansi, dan egoisme seseorang atau sekelompok orang terhadap orang lainnya merupakan dampak dari keangkuhan atau kesombongan makhluk. Itulah sebabnya, dalam ajaran Islam, takabbur ini digolongkan ke dalam penyakit hati yang diganjari dosa teramat besar bagi yang memakainya. Tersebab ujub dan takabbur binasa diri dan binasa agama, demikian kata Imam Ghazali.
Ujub dan takabbur
Tak ada penyakit yang tak ada obatnya. Demikian juga dengan penyakit hati yang satu ini. Al-Ghazali (dalam Sirussalikin Juzuk 2) meresepkan bahwa untuk mengobati hati yang telah terkontaminasi ujub dan takabbur adalah dengan melihat sebab terjangkit virus ujub dan takabbur itu sendiri, seperti keturunan, kecantikan, kekuatan atau kekuasaan, kekayaan atau harta, ilmu, dan ibadah. Feedback, ber-muhasabah (putar ulang) proses kejadian kita sampai ke titik nadir; bahwa sesungguhnya kita ini tercipta dari benda padat yang sangat hina, yaitu tanah dan benda cair yang sangat jijik, yaitu mani.
Bersadarkan hasil muhasabah tersebut, sangat tidak pantas manusia yang hina dina ini berlaku sombong dan angkuh. Dengan menyadari sesadar-sadarnya bahwa kelebihan atau kemuliaan yang dimiliki manusia tersebut tidak dapat memberi bekas sama sekali atas dirinya (hanya sandaran sebab), maka akan muncul dalam diri kita sikap tawadhu’ (rendah diri/hina di hadapan Allah azza wajalla).
Memiliki keturunan yang bermartabat, kecantikan yang memikat, kekuasaan yang terhormat, kekayaan yang berlipat, kecerdasan yang mantap, dan ibadah yang melimpah, dan segala macam kelebihan atau kemuliaan lainnya merupakan anugerah Allah yang sangat patut disyukuri. Maka, agar kelebihan atau kemuliaan yang singgah sementara di sisi kita itu tidak menjadi ujub atau takabbur, pandanglah semua itu sebagai nikmat atau anugerah Allah yang kapan saja dapat diberi dan dicabutnya dari kita.
Tak perlu berang, tak perlu panik, tak perlu kalap, tak perlu meratap, dan perlu sedu-sedan saat nikmat atau anugerah Allah itu melambai meninggalkan kita. Jangan sampai anugerah terindah itu menjadi bumerang bagi si yang disinggahi anugerahinya. Jadilah hamba Allah yang husnul qulub (berhati baik; berwatak mulia; berakhlak karimah), dan hindari suul qulub (berhati buruk) yang bermuara ke jalan fujur (kekecewaan).
* Azwardi, Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Syiah Kuala (Unsyih)
0 komentar:
Post a Comment