Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Unsyiah menjadi mata kuliah wajib bagi mahasiswa yang menempuh pendidikan Strata I (S-1). Di mana output yang diharapkan setelah berakhirnya KKN selama satu bulan itu, para peserta KKN bisa beradaptasi dengan masyarakat, bekerjasama sama dengan tim, menyalurkan ilmunya serta yang tak kalah menariknya adalah menumbuhharumkan nama Unsyiah di mata masyarakat Aceh.
Kenyataan yang didapatkan di lapangan saat mengikuti KKN ternyata sungguh menyimpang dan bertolak belakang dengan tridarma perguruan tinggi yang selama ini diagung-agungkan. Pihak Badan Pelaksana (Bapel) KKN ternyata tidak peduli sama sekali dengan derita yang dihadapi oleh mahasiswa di lapangan. Pilih kasih, itulah diksi yang tepat untuk mewakili perasaan yang dikeluhkan oleh mahasiswa. Mengapa tidak, selama mengikuti KKN, para peserta KKN tersebut tidak dibenarkan keluar dari gampong, dan anehnya lagi izin keluar dari gampong KKN hanya selama empat hari, sementara proses pembayaran SPP, konsultasi dengan dosen wali, dan permasalahan akademik di Unsyiah sendiri, menyita waktu lebih dari empat hari. Konon lagi jadwal KKN periode ke IV ini tidak sinkron dan berbenturan dengan jadwal akademik di Unsyiah.
Penulis telah merangkum beberapa persoalan dan ketidakadilan pelaksanaan KKN dan layak disebut KKN: Kah Kèe lôN. Adapun persolan tersebut adalah sebagai berikut;
Pertama: diskriminasi. “Jika KKN itu telah menjadi keharusan bagi mahasiswa, lalu mengapa tidak semua Pogram studi (Prodi) dilibatkan?” Pertanyaan tersebut sudah beberapa kali terdengar di telinga saya dan diucapkan oleh mahasiswa berbeda di Unsyiah. Diskriminasi yang dimaksudkan di sini adalah tidak dilibatkannya mahasiswa dari Fakultas Kedokteran Prodi Pendidikan Umum, Kedokteran Gigi, dan Mahasiswa Pogram Studi Ilmu Keperawatan. Sementara, di Universitas lainnya di Indonesia seperti Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) semuanya dilibatkan, tak terkecuali mahasiswa prodi Pendidikan Umum sekali pun.
Kedua: terlalu apatis. Meninggalkan anak tercinta yang usianya terbilang masih belia serta sang suami yang dibiarkan sendiri demi mengikuti KKN, membutuhkan sebuah pengorbanan yang luar biasa. Lalu jika sang peserta KKN itu berstatuskan PNS dan meninggalkan kantor demi Koh-koh Naleng-red (KKN) menjadi sebuah persoalan yang luar biasa. Tentunya sang PNS tersebut pastilah akan dipecat dari kantor setelah meninggalkan tugas selama satu bulan penuh, dan mengalahkan limit waktu izin untuk menunaikan ibadah haji.
Beginilah kenyatannya. Pihak Bapel ternyata sangat apatis dengan persoalan yang dihadapi oleh mahasiswa. Sungguh tak layak rasanya mempersulit seorang pegawai yang melanjutkan pendidikan di jenjang S-1 demi penyetaraan golongan, bukankah mereka sangat cakap dan bisa dikatakan mengalahkan dosen pembimbing lapangan (pembimbing kelompok saat KKN) tentang cara bergaul masyarakat. Lalu mengapa justru dipersulit, bukankah mereka telah berstatuskan PNS? Dan menurut hemat saya, pihak Bapel telah melakukan kesilapan saat verifikasi berkas KKN dan tidak berkonsultasi dengan rektorat sendiri. Selayaknya bisa dikatakan, Bapel ingin muncul di permukaan dengan istilah lain, peudeh tumpoh ek.
Ketiga: menguras banyak rupiah. KKN Unsyiah 2014 periode keempat yang berlangsung sejak 13 Januari lalu hingga 12 Februari mendatang, cenderung berbeda dengan KKN periode sebelumnya. Di mana pihak Unsyiah menyediakan dana subsidi bagi kelompok KKN dan lokasi KKN itu sendiri cenderung lebih dekat dengan lingkungan kampus. Namun, KKN 2014 saat ini benar-benar Kah Kèe lôN (KKN), terbagi menjadi tiga lokasi, di antaranya, Aceh Tengah, Aceh Besar dan Aceh Jaya. Kesemuanya dana untuk akomodasi dan pogram kegiatan dilimpahkan kepada para peserta KKN dan konon katanya di Aceh Tengah diberikan dan subsidi dan itupun harus melewati beberapa prosedur.
Jutaan rupiah pun melayang demi mengikuti mata kuliah berjumlahkan tiga SKS tersebut. Kalkulasinya; uang makan yang diserahkan kepada keuchik berjumlahkan Rp. 750 ribu, uang pogram kelompok minimal Rp. 350 ribu. Belum lagi pogram individu yang tidak diperkenankan mengambil dana pogram kelompok serta keperluan lainnya selama mengikuti KKN dalam kurung waktu stau bulan. Selain itu, dengan kisaran rupiah 750 ribu, dana tersebut cukup untuk membayar SPP bagi mahasiswa angkatan 2010 jurusan IPS. Namun dengan alokasi dana untuk membayar duit makan kepada keuchik, membuat orang tua mahasiswa ini merasa sangat terbeban dengan keperluan dana sebanyak itu. Dan bisa dikatakan KKN ini benar-benar membebankan mahasiswa dan organg tua/wali mahasiswa.
Keempat: jadwal yang tidak sinkron. Sebuah status di facebook mengejutkan saya yang menuliskan; “Berdasarkan laporan kunjungan DPL (Dosen Pembimbing Lapangan) yang Bapel terima, ada beberapa mahasiswa tidak berada di desa yang bersangkutan, saat kedatangan DPL dan hal ini tidak ada komunikasi/izin ddgn/dari DPL atau pak keucik.” Selanjutnya nada pilu lainnya, “Pihak Bapel akan melakukan investigasi lebih lanjut dan kemungkinan yang terjadi pembatalan KKN untuk mahasiswa yang bersangkutan atau tidak mendapatkan nilai yang maksimal.”
Penggalan status yang dikutip dari akun resmi milik Bapel KKN Unsyiah atas nama Bapel KKN Unsyiah cukup membuktikan kediktatoran pihak Bapel terhadap peserta KKN. Pada intinya, pihak DPL hanya melakukan kunjungan maksimal selama seminggu sekali, sementara di hari-hari biasanya DPL tersebut tidak pernah datang.
Bukan tanpa alasan para peserta KKN meninggalkan gampong lokasi KKN. Jadwal KKN yang berbenturan dengan jadwal pengisian Kartu Rancangan Semester (Krs), pembayaran SPP, dan konsultasi dengan dosen wali menyangkut perkuliahan, cukup memperkuat alasan di mana para mahasiswa tidak berada di lokasi KKN saat DPL datang. Lalu mengapa begitu gampangnya pihak Bapel mengatakan bahwa para peserta KKN tersebut meninggalkan lokasi KKN tanpa alasan, serta mengambil keputusan sepihak untuk membatalkan/memberikan nilai yang tidak memuaskan kepada mahasiswa yang bersangkutan. Bukankah dengan kamajuan teknologi kini dapat menghubungi langsung mahasiswa yang bersangkutan? Sungguh apatis.
Ke depan, kita mengharapkan adanya transparasi tentang pelaksanaan KKN bukan sekadar Kah Kèe lôN. Segera bentuk tim dan memperbaiki empat hal yang penulis sebutkan di atas. Hilangkan semua bentuk diskriminasi, tumbuhkan sikap acuh terhadap peserta KKN, susun dan keluarkan segera Surat Keputusan (SK) rektor mengenai pembiyaan KKN yang dipotong tiap semester ataupun saat pendaftaran masuk di Unsyiah, sementara dana untuk Unit Pengembangan Pendidikan Pembinaan Agama Islam (UP3AI) diplotkan tiap sementer.
Dan yang terakhir, waktu pelaksanaan KKN jangan terlalu dipaksakan dilangsungkan dua kali dalam setahun, bila tidak memungkinkan, cukup sekali dalam setahun, sehingga pelaksaan KKN itu tidak terkesan Kah Kèe lôN, dan benar-benar dirasakan manfaatnya bagi semua pihak. Semoga!
0 komentar:
Post a Comment