Oleh Rahmad Nuthihar
Hadih Maja menjadi narit maja, sebab
hadih berasal dari kata hadis yakni suatu ucapan para Nabi saja, bukan ucapan
manusia biasa. Kata hadih maja itu sebenarnya ciptaan Dr.C.Snouck Hurgronje
dalam bukunya De Atjehers (Hasjim X : 1977). Selain itu, Harun membagi beberapa
konsep pemikiran dan watak orang Aceh melalui perspektif hadih maja: konsep
nilai filosofis orang Aceh; konsep nilai etis orang Aceh; dan konsep nilai
estetis orang Aceh1.
Narit
maja ini menyiratkan bahwa sebuah komunitas mestilah memiliki kaidah, hukum,
konvensi, dan batasan-batasan tertentu. Hal ini sangat berguna dalam rangka
membangun sebuah kehidupan yang harmonis. Narit maja ini juga digunakan untuk
memberikan penekanan terhadap suatu peristiwa atau poblematika yang terjadi
dalam kehidupan sehari-hari. Narit maja dianggap bisa dikatan eufemisme guna
menggantikan ungkapan yangg dirasakan kasar seperti, aneuk donya jinoe tuha ji ngong geutanyoe (anak dunia sekarang, tua
dia dengan kita). Hadih maja tersebut dikonotasikan seorang anak sekarang
cerewet, suka membantah dan enggan menurut nasehat orang tua.
Meskipun
masyarakat Aceh berpegang teguh pada tiga hal yakni; Alquran, hadis, dan narit
maja/hadis manja (menurut Yusri Yusuf-red). Pada kenyataannya ucapan-ucapan
nenek moyang yang tidak berhubungan dengan agama, tetapi ada kaitannya dengan
kepercayaan rakyat yang perlu diambil ibaratnya untuk menjamin ketenteraman
hidup atau untuk mencegah terjadinya bencana, seperti adat istiadat pada suatu
upacara, aturan-aturan berpantang, ucapan-ucapan mengenai moral, dan Iain-kin (Bakar, dkk. 1985:273). Di dalam perjalananya
ada beberapa narit maja yang bertentangan dengan norma-norma agama, susila, dan adat masyarakat Aceh, sehingga Adnan Hanfiah mengganotasikan 52 narit maja.2 Sementara
itu, Hasjmy (1995:539) menyebutkan bahwa hadih maja merupakan kata atau kalimat
berhikmat, sedangkan menurut AH (1994:199), hadih maja adalah nasihat dan
petuah nenek moyang yang mengandung nilai-nilai moral dan pendidikan keagamaan.
Karena itu, hadih maja dipandang sebagai produk sosial budaya etnis Aceh yang
berhubungan dengan konsttuksipengetahuan budaya mereka
Di
Aceh saat ini, pemakaian narit maja ini telah hilang dalam kehidupan
sehari-hari. Salah satu penyebabnya, menurut hemat penulis dikarenakan karena
pengaruh budaya luar yang dianggap cocok untuk mentamsilkan sesuatu padahal di
dalam narit maja itu sendiri semuanya sudah ada. Selain itu, kurangnya
publikasi dan rasa keingintahuan masyarakat Aceh untuk membaca narit maja ini
menjadi akar dari hilangnya pemakaian narit maja. Ceudah-ceudah cicém laén, nyang leubèh candén cicém pala (Indah-indah
burung yang lain, yang lebih indah ialah burung murai. Kiasan narit maja
tersebut adalah: bagaimana cantiknya gadis-gadis kota, lebih cantik gadis desa,
baik tentang tutur katanya maupun budi bahasanya, karena kebudayaan asli sesuatu bangsa tercermin di desa-desa. (Hasjim
7 : 1977).
1. Harun , Mohd. 2007 Representasi Nilai Estetis Orang Aceh dalam Hadih Maja. Volume. 9, nomor: 2, Halaman 1 (Jurnal Ilmiah): Universitas Syiah Kuala
2. Hasjim M.K. 1969. Himponan Hadih Maja. Banda Aceh: Dinas Pendidikan Dasar dan Kebudayaan Aceh. Halaman X
.
Daftar Reverensi
Ali, Bachtiar. 1994. Relavansi
Peiestarian Adat dan Budaya Aceh bagi Kepentingan Pengembangan Budaya Bangsa
Indonesia Sepanjang masa. Dalam TA. Talsya (Ed), Adat dan Budaya Aceh Nada dan
Warna (hlm.170-182). Banda Aceh: PPSM ke_2 LAKA dan LAKA Pusat
Bakar, Aboe, dkk. 1985. Kamus Aceh Indonesia. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan
Hasyim M.K. 1969. Himponan Hadih Maja. Banda Aceh: Dinas Pendidikan Dasar dan Kebudayaan Aceh.