Adanya sebuah keputusan tentu adapula sanksinya. Di Aceh Barat dalam menciptkan kehidupan masyarakat bermartabat, sanksi terhadap penyimpangan hukum adat masih diberlakuakan dan hal ini terlebih dahulu ditilik berdasarkan kesalahannya itu. Apakah pelanggaran itu berupa pelanggaran adat, agama, ataupun Ketetapan Hukum Pidana (KUHP). Sebagaimana yang kita ketahui di provinsi Aceh ada tiga hukum berlaku di sini di antaranya yakni; Hukum adat istiadat, hukum syariah/agama dan hukum kenegaraan/KUHP.
Pada tulisan ini penulis mencoba fokus mengangkat mengenai sanksi hukum adat yang masih berlaku dalam masyarakat pesisir kabupaten aceh barat di antaranya adalah
1. Hukuman pengusiran dari gampong
Pengusiran dari gampong ini disebabkan pelanggar melakukan kesalahan yakni perbuatan zina. Perbuatan zina tersebut dianggap perbuatan yang sangat memalukan dan bagi masyarakat di Aceh Barat ini sendiri, melakukan zina di kampungnya berarti akan membuat Allah kesal dan diyakini akan membuat gampong menjadi malang sehingga mengundang bala. Baik itu karena musibah alami seperti banjir, pasang, dan menurunnya rezeki masyarakat setempat yang bertani ataupun menderet karet.
Oleh karena itu, kesepatakan masyarakat menetapkan sanksi pengusiran dari gampong adalah jalan yang terbaik bagi gampongnya selain sanksi berupa pengusiran dari gampong, pelaku tersebut juga tidak dibenarkan kembali ke gampong kecuali pada saat kemalangan tertentu, bahkan di hari hari sekalipun juga tetap tidak dibenarkan untuk kembali ke gampognya.
2. Denda male gampong
Perbuatan asusila yang merusak nama baik gampong diyakini akan kembali jika dilakukan pesta/khanduri agar gampong tersebut kembali lagi maruahnya. Uang yang diberikan oleh pelaku tindakan asusila tersebut akan diserahkan kepada imum mesjid yang mana nantinya dari rupiah itu digunakan untuk membeli hewan ternak (kambing, kerbau) untuk disembelih dan dimakan bersama-sama dengan masyarakat setempat.
3. Dinikahkan
Meskipun telah dinikahkan dan dosa yang dilakukan pelaku perzinaan tersebut tidak akan diampunkan oleh Allah kecuali yang bersangkutan melakukan taubat, ‘Nikah’ adalah solusi yang terbaik dianggap oleh imum mesjid dan keuchik mengingat belas kasihan wanita yang berzina. Dengan dinikahkan, otomatis derita yang si perempuan tersebut sedikit berkurang karena tanggungan hidupnya telah ada di pundak lelaki pelaku tersebut. Sebelum dinikahkan, pelaku tersebut terlebih dahulu dimandikan dengan air comberan (air got) oleh masyarakat dan digiring ke rumah keuchik setempat.
4. Dikucilkan
Pernah di suatu ketika seorang warga yang kedapatan berada di dalam rumah perempuan, meskipun ayah si perempuan tersebut juga ada di rumah, warga setempat juga menggiring si lelaki tersebut ke rumah pemuda dan ketua pemuda mengambil jalan tengah agar dalam tempo tiga bulan lelaki dan perempuan tersebut agar segera menikah. Namun solusi yang diberikan oleh ketua pemuda tersebut juga tidak menyulutkan amarah dari warga setempat. Sehingga pada saat berlangsunya pesta penikahan, para pemuda juga bersikukuh dengan pendiriannya untuk tidak menghadiri acara tersebut. Dan para pemuda di gampong setempat memilih melangsungkan acara tersendiri yakni dengan menyembelih kambing di lapangan olahraga yang dihadiri oleh semua pemuda desa setempat.
5. Melekatnya nama buruk (dicap)
Tentunya kita tidak ingin nama buruk di dalam masyarakat hingga melekat ke keturunan berikutnya. Di antaranya jangak (pencuri), tukang loem ureng manoe (pengintip wanita mandi), lonte, dan perbuatan lainnya yang dianggap pekerjaan yang memalukan. Pemberian nama tersebut tidak berakhir hingga akhir hayatnya, melainkan cucunya juga akan dikenal sebagai keluarga yang seperti penulis sebutkan di atas.
6. Peusijuek
Jika di antara masyarakat tersebut terjadi perkelahian walaupun tidak melakuai keduanya, akan tetapi bilamana hal itu diketahui oleh keuchik setempat, kedua pelaku tersebut wajib mem-peusijeuk sesama. Hal ini dilakukan agar silahturrahmi keduanya bisa berjalan baik dan tidak adanya upaya untuk membalas dendam konon lagi membawa perkara tersebut ke pihak berwajib. Jalan damai adalah harapan ke dua pelaku tersebut, bahkan jika ada pertumpahan darah maka pelaku tersebut akan menanggung biaya perobatannya.
Adanya sanksi hukum adat ini diharapkan bisa memberi efek jera bagi pelakuknya. Di samping itu bila terjadi suatu kasus pelanggaran lainya, masyarakat Aceh lebih suka memilih jalan damai dan tidak suka hal tersebut berlarut-larut apalagi harus berurusan dengan pihak berwajib.
0 komentar:
Post a Comment