Random Post
to show post by tag/label, fill tagName like this: ex:label blogger ---> tagName:"blogger" to show recent post change RandompostActive value to false like this : RandompostActive:false
Thursday 31 July 2014

08:57
ilustrasi gambar, ROL
Dampak dari pertambahan penduduk khususnya di Aceh telah membawa pengaruh yang sangat besar. Sulitnya mendapatkan pundi-pundi rupiah dan bertahan hidup dengan penghasilan yang layak bukanlah hal yang mudah lagi. Berbagai tempat yang semula terlantar kini disunglap menjadi kios tempat berjualan. Tempat keramaian seperti di sekolah-sekolah dan di kampus pun menjadi target bagi sebagian pedagang untuk menggelar usahanya.

Di pelantaran pintu gerbang sekolah, hampir setiap sekolah kita temukan para penjaja makanan. Mereka pun menjual beranekaragam makanan siap saji kepada anak-anak. Bakso goreng, es batangan menjadi makanan favorit bagi anak-anak saat bunyi bel istrihat berbunyi. Dan para pedagang ini pun selalu kebanjiran para pembeli. Berbagai zat kimia terkandung dalam makanan tersebut misalnya; di dalam es batangan mangandung zat pewarna, pemanis buatan, dan dibuat bukan dari air yang di-didihkan. Menariknya di sini, pihak sekolah tak mampu melarang dan menertibkan para pedagang tersebut di perkarangan sekolah. Kemacetan lalu lintas adalah dampak dari ketidakteraturan para pedagang tersebut. Misalnya di Jalan Syiah Kuala tepatnya di depan Madrasah terpadu (Min, MTsN, dan Man Model) kemacetan ini adalah pemandangan yang kerap kita jumpai di sana baik di pagi hari maupun saat siswa tersebut pulang.

Selain dari kemacetan, jajanan yang dijual para pedagang di pelantaran sekolah tersebut kerap mengandung zat kimia yang berbahaya. Informasi yang disebutkan di koran Waspada (4 Oktober 2012) menyebutkan, 60% jajanan SD mengandung formalin. Selain formalin zat berbahaya lainnya yang terkandung dalam jajanan tersebut adalah boraks. Efek jangka panjang mengonsumsinya sangat fital bagi kesehatan manusia. Sejatinya zat berbahaya tersebut bila dikonsumsi dalam jumlah yang banyak dan kurung waktu yang panjang, akibatnya adalah gangguan pada saluran pencernaan, hati, saraf, otak. Dan yang lebih buruknya lagi menyebabkan kanker bahkan kematian.

Pemakaian zat kimia di Aceh pun kini mulai meluas. Contoh lainnya adalah pemakaian formalin pada ikan. Hal ini pun diperuntukkan agar ikan tersebut tidak cepat membusuk dan terurai dengan bakteri pembusuk. Hampir tidak dapat dibedakan antara ikan yang mengandung formalin dan tidak. Warna dan tekstur ikan yang mengandung formalin hampir-hampir mirip dengan yang tidak mengandung formalin jika dilihat dari sekilas. Selain itu para pedagang ikan menyiasatinya dengan menambahkan darah ikan segar lainnya pada ikan yang mengandung formalin agar persis yang tidak mengandung formalin. Dan lagi-lagi yang dirugikan adalah konsumen itu sendiri.

Permintaan ikan dengan jumlah besar membuat segilintir oknum dibutakan hatinya dan menghalalkan segala cara untuk mendatangkan rupiah. Meningkatnya jumlah penduduk adalah dampak dari banyaknya permintaan ikan. Tak dapat dipungkiri, penggunaan zat kimia ini sendiri telah menyebar ke setiap jenis makanan bahkan bumbu dapur sekalipun.

Dalam tugas praktik perkuliahan, penulis pernah ditugaskan oleh dosen untuk membeli zat kimia berupa boraks. Awalnya saya sangat sulit mendapatkan boraks. Hampir di setiap toko kelontong yang saya datangi mengatakan tidak menjual zat kimia berbahaya tersebut. Setelah saya menanyakan pada teman-teman lainnya yang memiliki tugas yang sama, rupanya untuk membeli boraks, pembeli tidak mengatakan boraks, melainkan obat makanan. Nah, setelah saya mengikuti saran teman tersebut akhirnya boraks tersebut saya dapatkan dengan harga satuan Rp 40.000 per kilogram.

Rendahnya pengawasan terhadap penjualan zat kimia berbahaya ini memicu terjadi penyalahgunaan zat berbahaya tersebut. Imbasnya pun tertuju pada manusia yang tidak berdosa. Persaingan hidup agar asap dapur bisa mengepul menjadikan orang kalap. Segala cara dihalalkan. Lagi-lagi yang sangat disayangkan orang yang tidak berdosa menjadi imbasnya. Sebagai contoh; ibu hamil sangat rentan mengonsumsi makanan yang terkandung zat kimia. Dampaknya bayi tersebut lahir dengan tidak sehat bahkan ada organ tubuh yang cacat karena ketika masa kehamilan sang ibu mengonsumsi zat-zat kimia yang tidak mudah dicerna oleh tubuh.

Berita miris lainnya tentang maraknya pemakaian zat kimia berbahaya terjadi di Aceh Jaya. Dalam liputan khusus Serambi Indonesia 18 April 2014 disebutkan bahwa penggunaan merkuri (Hg) di sana telah memakan banyak korban. Sejatinya merkuri ini digunakan untuk memisahkan emas dari batu, ataupun pasir. Dampaknya, pembuangan limbah merkuri ini telah merusak ekosistem setempat. Pencemaran tersebut telah mengontaminasi rantai makanan dan korbannya pun mulai berjatuhan dan umumnya menimpa ibu hamil di mana ketika anaknya lahir menderita cacat fisik. Bahkan ada yang meninggal dunia karena organ tubuhnya tidak lengkap.

Penekanan angka kelahiran dan peningkatan kualitas hidup menjadi kunci untuk mencegah marakanya penyalahgunaan zat kimia berbahaya. Minimnya penghasilan serta sulitnya mencari lapangan pekerjaan membuat masyarakat di Aceh mencari cara instan guna mendapatkan rupiah. Berbagai cara pun dilakukan oleh oknum tertentu. Tentunya ketika cara instan ini dilakukan akan berdampak buruk bagi orang lain. Sikap apatis dan menyepelekan keluarga berencana menjadi pemicu hal masalah ini semua. Karena tuntutan hidup yang semakin hari kian membengkak membuat siapapun menghalalkan segala cara guna mendapatkan rupiah.

Sisi lainnya, peningkatan jumlah penduduk telah ikut andil dalam kemacetan dan polusi udara di provinsi Aceh. Kuota jumlah kendaraan yang semakin bertambah membuat kita semakin sesak dengan udara yang telah tercemar karbon monoksida (CO). Maka alternatifnya kembali lagi pada persoalan bagaimana meciptakan keluarga berencana.

Pemerintah pun diharapkan membatasi investor yang akan berinvestasi di Aceh dengan pemberian pilihan usaha apa yang akan dibangun. Larang pemberian izin terkait eksploitasi alam yang nyatanya merusak eskosistem dan mendatangkan bencana! Tetapi cukup berikan izin seperti usaha di sektor pertanian, perkebunan, dan pertenakan.

Tak benar bahwa semboyan banyak anak akan mendatang banyak rezeki. Semboyan itu berlaku jika kita berada di masa dahulu di mana populasi manusia di masa itu tidak sebanyak saat ini. Paradigma masyarakat awam tersebut sudah sepatutnya ditingalkan. Masa telah berganti. Begitu juga dengan kondisi di Aceh kini yang berkembang. Hidup di masa sekarang butuh keterampilan bukan sekadar sawah dan ladang sumber rezeki. Dan kita tidak selamanya harus bergantung hidup pada orang di sekitar kita. Syukur bila orang tua kita hanya memiliki tanggungan dua anak untuk membiayai hidup kita hingga di perguruan tinggi. Lalu jika kita adalah keluarga besar yang memiliki 10 anak-anaknya, akankah kita bisa kuliah di masa sekarang. Keluarga berencana menjadi solusi untuk hidup di masa kini. Semoga!

0 komentar:

Post a Comment