Pekan
Komersial Aceh (PKA)
Oleh | Rahmad Nuthihar
Demam
euforia seni dan kebudayaan saat ini sedang melanda warga di provinsi Aceh.
Kota Banda Aceh menjadi tujuan warga di Aceh untuk sekadar berkunjung dan
melihat-lihat anjungan yang berada di Taman Ratu Safiatuddin Gampong Lampriet.
Kemacetan pun tak terelakan lantaran para penjual kali lima (PKL) membanjiri
area yang ada di sekitar tempat berlangsungnya pesta akbar seni dan kebudayaan.
Sangat
disayangkan bilamana lokasi berlangsugnya PKA ini disalagunakan dan dijadikan
tempat komersial untuk menjual barang-barang dagangan. Meskipun lapak yang
untuk berjualan sudah disediakan oleh pihak panitia, namun para PKL ini kerap
kali mengabaikannya dan menjadikan sembarang tempat untuk menggelar barang dagangannya.
Dan terjadilah pergesaran maksud agenda empat tahun ini justru menjadi tempat
komersial serta mengabaikan tujuan diadakannya PKA itu sendiri.
Di
samping itu, kekecewaan para pengunjung
antara lain pintu masuk ke PKA ini terbilang sempit, para pengunjung sering
kali berdesak-desakan untuk masuk kedalamnya. Rawannya tindak kejahatan dan
pelecehan terhadap kaum perempuan pun terjadi di sana. Penulis secara langsung
melihat kaum laki-laki sengaja berdesak-desakan dengan perempuan dan maaf cakap
menyentuh tubuh si perempuan. Berbagai cemooh juga kerap dilontarkan masyarakat
Aceh di jejaring sosial baik di twitter,
maupun facebook mengenai acara dan
hal-hal yang dipamerkan di anjungan dan stand-stand di kabupaten.
Keorisinalitas budaya Aceh pun diragukan. Hanya beberapa kesenian dan
kebudayaan Aceh yang diperlihatkan serta diperlombakan dalam Pekan Kebudayaan
Aceh VI.
Sungguh
miris jika melihat hal yang terjadi di sana. Acara yang dibukakan langsung oleh
Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono Jumat pekan lalu, kini seperti
pasar malam. Kebanyakan kita dapati mulai dari pintu masuk di PKA VI adalah
para penjaja makanan, acecories PKA dan tempat hiburan seperti tong setan
menjadi tujuan utama para pengunjung dan mengesampingkan maksud utama untuk
melihat kebudayaan Aceh.
Tanpa Ada Seni Tutur Hikayat Aceh
Lebih
anehnya lagi, Pekan Kebudayaan Aceh ke VI ini justru meniadakan penampilan seni
tutur Aceh berupa pembacaan hikayat Aceh. Sejatinya, bahasa Aceh bukan hanya sebagai bahasa
percakapan, tetapi juga memiliki tradisi sastra lisan yang meluas dalam
masyarakat Aceh. Jenis sastra lisan yang dikembangkan melalui media bahasa Aceh
antara lain sebagai berikut: Sindiran dan Montera, Hadih Maja (Peribahasa
Aceh), Puisi Rakyat, Ceritera. Prosa Rakyat, Nyanyian Rakyat (Depdikbud : 1984).
Padahal, kenyatan yang kita dapati saat ini adalah populasi para seniman tutur
ini jumlahnya semakin sedikit. Hanya sebagian saja yang masih aktif dan
berperan mengabadikan seni tutur ini. Dengan kata lain, pemerintah sendiri
tidak berupaya melestarikannya justru lebih memilih menampilkan musik dangdut
dan menghadirkan para artis ternama dalam pekan kebudayaan Aceh VI.
Dibandingkan
dengan Piasan Seni yang diselenggarakan beberapa waktu lalu, justru penampilan
seni tutur Aceh berupa pembacaan hikayat Aceh (cae) ada dipertunjukkan di sana.
Walaupun dalam acara tersebut juga diselipi dengan penampilan musik modern, dan
kontemporer. Pertanyaan pun berkembang
mengapa hal ini bisa terjadi dan pihak manakah yang salah? Menurut hemat
pemikiran penulis sendiri, yang paling bertanggung jawab dan berhak disalahkan
adalah pihak penyelenggara yaitu Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh.
Kurangnya
pengetahuan dan eksistensi Dinas Kebudayaan Pemerintah Aceh dalam hal seni dan
budaya Aceh adalah sebab musabab yang saat ini terjadi. Ketika seseorang yang
tidak cukup pengetahuan dan malu bertanya maka dianya akan mementingkan ego
diri sendiri dan kelompoknya. Jika kita berpikir secara logis, buat apa stand
mobil murah itu ada dalam acara pekan kebudayaan Aceh, apakah di masa dahulu
orang Aceh sudah menaiki mobil? kalau bukan untuk menghasilkan rupiah penyewaan
lapak. Sungguh miris hal ini terjadi.
Pengevaluasian
dini, sudah sepatutnya dilakukan jauh-jauh sebelum penyelenggaran acara.
Sehingga hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi seperti saat ini. Dua
kabupaten di Aceh yakni Aceh Tengah dan Bener Meriah juga tidak ikut serta
dalam PKA VI. Layakkah disebut pekan kebudayaan aceh ini berhasil secara
menyeluruh?
Ke
depan kita mengharapkan PKA ke VII tidak berkesan seperti Pekan Komersial Aceh
yang dipenuhi dengan para penjual kaki lima. Pihak penyelenggara acara harus
mampu menseterilkan lokasi PKA dari PKL ini.
Sehingga kenyamanan para pekunjung bisa tercipta. Selain itu, Penataan tempat pakir harus
menjadi prioritas utama sehingga tidak menimbulkan kemacetan. Peluasan pintu
masuk utama ke Taman Ratu Safituddin pun menjadi hal yang sangat urgent
sehingga tindak kejahatan berupa pelecehan terhadap perempuan bisa diminalkan.
Pihak polisi syariat (WH) diharapkan
ditempatkan di setiap pusat-pusat keramaian. Dengan hal ini nantinya,
masyarakat Aceh sangat berharap dengan adanya Pekan Kebudayaan Aceh masyarakat
bisa mengenal kebudayaan Aceh dan tradisi Aceh di masa dahulu yang kini
perlahan mulai luntur. Dan Pekan Kebudayaan Aceh menjadi ajang melestarikan
seni dan kebudayaan Aceh sendiri. Semoga!
Rahmad
Nuthihar, mahasiswa pendidikan bahasa dan sastra Indonesia
Universitas
Syiah Kuala
0 komentar:
Post a Comment