Random Post
to show post by tag/label, fill tagName like this: ex:label blogger ---> tagName:"blogger" to show recent post change RandompostActive value to false like this : RandompostActive:false
Friday, 4 October 2013

00:14
Pekan Komersial Aceh (PKA)
Oleh | Rahmad Nuthihar
Demam euforia seni dan kebudayaan saat ini sedang melanda warga di provinsi Aceh. Kota Banda Aceh menjadi tujuan warga di Aceh untuk sekadar berkunjung dan melihat-lihat anjungan yang berada di Taman Ratu Safiatuddin Gampong Lampriet. Kemacetan pun tak terelakan lantaran para penjual kali lima (PKL) membanjiri area yang ada di sekitar tempat berlangsungnya pesta akbar seni dan kebudayaan.

Sangat disayangkan bilamana lokasi berlangsugnya PKA ini disalagunakan dan dijadikan tempat komersial untuk menjual barang-barang dagangan. Meskipun lapak yang untuk berjualan sudah disediakan oleh pihak panitia, namun para PKL ini kerap kali mengabaikannya dan menjadikan sembarang tempat untuk menggelar barang dagangannya. Dan terjadilah pergesaran maksud agenda empat tahun ini justru menjadi tempat komersial serta mengabaikan tujuan diadakannya PKA itu sendiri.

Di samping itu,  kekecewaan para pengunjung antara lain pintu masuk ke PKA ini terbilang sempit, para pengunjung sering kali berdesak-desakan untuk masuk kedalamnya. Rawannya tindak kejahatan dan pelecehan terhadap kaum perempuan pun terjadi di sana. Penulis secara langsung melihat kaum laki-laki sengaja berdesak-desakan dengan perempuan dan maaf cakap menyentuh tubuh si perempuan. Berbagai cemooh juga kerap dilontarkan masyarakat Aceh di jejaring sosial baik di twitter, maupun facebook mengenai acara dan hal-hal yang dipamerkan di anjungan dan stand-stand di kabupaten. Keorisinalitas budaya Aceh pun diragukan. Hanya beberapa kesenian dan kebudayaan Aceh yang diperlihatkan serta diperlombakan dalam Pekan Kebudayaan Aceh VI.  

Sungguh miris jika melihat hal yang terjadi di sana. Acara yang dibukakan langsung oleh Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono Jumat pekan lalu, kini seperti pasar malam. Kebanyakan kita dapati mulai dari pintu masuk di PKA VI adalah para penjaja makanan, acecories PKA dan tempat hiburan seperti tong setan menjadi tujuan utama para pengunjung dan mengesampingkan maksud utama untuk melihat kebudayaan Aceh.  

Tanpa Ada Seni Tutur Hikayat Aceh
Lebih anehnya lagi, Pekan Kebudayaan Aceh ke VI ini justru meniadakan penampilan seni tutur Aceh berupa pembacaan hikayat Aceh. Sejatinya,  bahasa Aceh bukan hanya sebagai bahasa percakapan, tetapi juga memiliki tradisi sastra lisan yang meluas dalam masyarakat Aceh. Jenis sastra lisan yang dikembangkan melalui media bahasa Aceh antara lain sebagai berikut: Sindiran dan Montera, Hadih Maja (Peribahasa Aceh), Puisi Rakyat, Ceritera. Prosa Rakyat, Nyanyian Rakyat (Depdikbud : 1984). Padahal, kenyatan yang kita dapati saat ini adalah populasi para seniman tutur ini jumlahnya semakin sedikit. Hanya sebagian saja yang masih aktif dan berperan mengabadikan seni tutur ini. Dengan kata lain, pemerintah sendiri tidak berupaya melestarikannya justru lebih memilih menampilkan musik dangdut dan menghadirkan para artis ternama dalam pekan kebudayaan Aceh VI.

Dibandingkan dengan Piasan Seni yang diselenggarakan beberapa waktu lalu, justru penampilan seni tutur Aceh berupa pembacaan hikayat Aceh (cae) ada dipertunjukkan di sana. Walaupun dalam acara tersebut juga diselipi dengan penampilan musik modern, dan kontemporer.  Pertanyaan pun berkembang mengapa hal ini bisa terjadi dan pihak manakah yang salah? Menurut hemat pemikiran penulis sendiri, yang paling bertanggung jawab dan berhak disalahkan adalah pihak penyelenggara yaitu Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh.

Kurangnya pengetahuan dan eksistensi Dinas Kebudayaan Pemerintah Aceh dalam hal seni dan budaya Aceh adalah sebab musabab yang saat ini terjadi. Ketika seseorang yang tidak cukup pengetahuan dan malu bertanya maka dianya akan mementingkan ego diri sendiri dan kelompoknya. Jika kita berpikir secara logis, buat apa stand mobil murah itu ada dalam acara pekan kebudayaan Aceh, apakah di masa dahulu orang Aceh sudah menaiki mobil? kalau bukan untuk menghasilkan rupiah penyewaan lapak. Sungguh miris hal ini terjadi.

Pengevaluasian dini, sudah sepatutnya dilakukan jauh-jauh sebelum penyelenggaran acara. Sehingga hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi seperti saat ini. Dua kabupaten di Aceh yakni Aceh Tengah dan Bener Meriah juga tidak ikut serta dalam PKA VI. Layakkah disebut pekan kebudayaan aceh ini berhasil secara menyeluruh?   
Ke depan kita mengharapkan PKA ke VII tidak berkesan seperti Pekan Komersial Aceh yang dipenuhi dengan para penjual kaki lima. Pihak penyelenggara acara harus mampu menseterilkan lokasi PKA dari PKL ini.  Sehingga kenyamanan para pekunjung bisa tercipta.  Selain itu, Penataan tempat pakir harus menjadi prioritas utama sehingga tidak menimbulkan kemacetan. Peluasan pintu masuk utama ke Taman Ratu Safituddin pun menjadi hal yang sangat urgent sehingga tindak kejahatan berupa pelecehan terhadap perempuan bisa diminalkan. Pihak polisi syariat  (WH) diharapkan ditempatkan di setiap pusat-pusat keramaian. Dengan hal ini nantinya, masyarakat Aceh sangat berharap dengan adanya Pekan Kebudayaan Aceh masyarakat bisa mengenal kebudayaan Aceh dan tradisi Aceh di masa dahulu yang kini perlahan mulai luntur. Dan Pekan Kebudayaan Aceh menjadi ajang melestarikan seni dan kebudayaan Aceh sendiri. Semoga!
Rahmad Nuthihar, mahasiswa pendidikan bahasa dan sastra Indonesia

Universitas Syiah Kuala 

0 komentar:

Post a Comment