Petani garam di Aceh sumber foto/http://antaraaceh.com |
Gubuk itu menyiratkan kesedihan Dulkaraini. Tentang bagaimana susahnya ia mencari rezeki. Gubuk yang beratapkan rumbia, tempat dimana bagi Dulkaraini untuk menyunglap pasir itu menjadi bulir putih yang rasanya asin. Juga didalamnya ditempatkan garam bikinannya yang sudah jadi dan berbagai alat yang dia perlukan untuk berkerja. Selain itu juga, beberapa kuali besar ditempati didalamnya. Namun perhatian tertuju pada kuali ya
ng didalamnya tidak berisikan apa-apa.
“Kuali memasak pasir ini sudah bocor dan saya tidak memiliki sejumlah uang guna membeli kuali yang baru,” ungkap Dulkaraini
Mungkin bila kita tidak pernah melihat bagaimana proses pembuatan garam ini, maka kita tidak pernah tahu bahwa bumbu masakan yang rasanya asing itu susahnya dibuat. Pria asal Desa Lam Ujong Kecamatan Baitussalam Kabupaten Aceh Besa, senantiasa berada bawah sengatan matahari guna menyisir hamparan pasir itu untuk dikumpulkan membentuk gunungan. Pasir yang tadinya sudah dikumpulkan kemudian disiram dengan air laut dan diendapkannya selama tiga hari. Tidak berakhir hanya disitu rutinitas pekerjaan Dulkaraini sabagai petani garam.
Proses pembuatan garam dari sebelumnya diendapkan. Sesudah membentuk gumpalan garam, kemudian pasir itu diratakan. Setelah dijemur selama satu hari, pasir ini barulah dimasukan kedalam kuali guna dididihkan dan menunggu pendinginan untuk memisahkan air laut dan garam.
“Dalam hal pembuatan garam ini dibutuhkan kesabaran, bila kita tidak sabar dan maka bukan garam yang dihasilkan, namun hanya air biasa.”
Dulkaraini kepada Harian Aceh mengaku bahwa pekerjaan sebagai petani garam telah ia lakoni semenjak 10 tahun lalu. Keterbatasan modal dan keahlian yang dimilikinya menuntun ianya untuk tetap berprofesi petani garam seperti empat orang kawanan lainnya yang tidak jauh dari gubuk miliknya itu.
“Saya sudah berkerja sebagai petani garam sebelum tsunami, dan usaha untuk melakoni membuat garam sempat terhenti lantaran perlengkapan yang saya butukan dibawa air laut.”
Dulkaraini menggantungkan hidupnya dari asinnya laut. Dari sanalah ia dapat menghidupupi anak dan istrinya. Ayah dari tiga orang anak ini mengaku dalam sehari ia dapat mengumpulkan rupiah dibawah Rp 50 ribu perhari.
“Dalam sehari saya dapat memproduksi garam tradisional ini sebanyak 16 kilogram dan jumlah ini akan berkurang bila kayu bakar itu tidak ada, terlebih saat ini harga dari kayu bakar ini kian melambung.”
Dalam melangsungkan pekerjaan sebagai petani garam, tak banyak alat yang diperlukan oleh Dulkaraini. Dua unit sekop dan penyisir pasir cukup baginya untuk menghasilkan Rp3 ribu perkilogram dari harga garam ini. Ingin rasanya kata Dulkaraini untuk memiliki pekerjaan lainnya, keterbatasan modal dan pengetahuan yangdimilikinya tetap membuat pria berumul 55 tahun ini tetap menjadi petani garam.
“Semenjak saya menjadi petani garam, saya sekalipun tidak pernah mendapatkan bantuan. Sebelumnya pernah saya ajukan proposal ke pihak terkait untuk menambahkan modal usaha, namun sampai saat ini proposal yang saya ajukan tidak pernah cair.”
Banyaknya garam impor dari luar menjadikan garam dapur tradisional bikininan Dulkaraini dan petani garamnya dihargai murah. Dan mereka hanya pasrah tanpa membantah harga yang sudah ditetapkan oleh agen penjual garam.
“Para pembeli garam sering datang kemari dan membelinya kepada saya, namun bila saya menjual kepada agen maka harga garam ini dibeli sebesar Rp3 ribu / Kg, dan saya tidak berani untuk menaikkan harga garam tersebut mengingat harga garam dari luar lebih murah.” [Rahmad Nuthihar ]
0 komentar:
Post a Comment