Seiring bergantinya kursi rektor Unsyiah yang semula diduki oleh Prof. Darni Daud yang kini dijabat oleh Prof. Samsul Rizal, pembenahan pun terus digalakkan. Terutama pembenahan ini dilakukan pada fasilitas kampus maupun pogram kelembagaan, semisalnnya mengadakan kembali Kuliah Kerja Nyata (KKN). Pada perubahan fisik, berupa pembenahan fasilitas dan sarana kampus dapat dilihat dengan kasat mata di antaranya adalah perbaikan jalan menuju kampus dan gedung-gedung kuliah umum (RKU) juga ikut direhab. Akan tetapi, momentum merehab gedung tersebut dianggap tidak aspiratif di mana akibat RKU itu direhab, aktifitas perkuliahan pun terganggu. Akibatnya, kuliah diliburkan atapun dialihtempatkan ke gedung lainnya.
Selain itu, pembangunan pembatas kampus antara kediaman masyarakat dengan kampus pun mulai dibangun kembali setelah sekian lama terbengkalai. Suasana kampus pun terlihat lebih steril dengan masyarakat dan terciptanya normalisasi kampus yang baik. Jika dibanginkan dengan normalisasi UIN Ar-Raniry, Unsyiah memang jauh dari kesan normalisasi yang teratur di antaranya parkir yang semberono, pedagang memasuki kampus bahkan tumpukkan sampah bertaburan di pagi hari sisa-sisa pedagang yang menjajakan dagangannya di depan gedung gelanggang mahasiswa pada malam hari.
Di dalam hadih maja/narit maja ada satu ungkapan yakni; bek toh ek di ateh tumpok ek gob (jangan buang hajat di atas hajat orang lain). Maksud dari narit manja di atas adalah seseorang ingin menunjukkan kelebihannya dibandingkan dengan pemerintahan orang sebelumnya. Dirinya menganggap bahwa Ia lebih mampu dibandingkan terdahulu. Akibatnya, dia tidak melihat keefektifan hal-hal yang dilakukannya itu berguna atau tidak bagi orang lain di sekitarnya. Dan dalam tulisan ini penulis mencoba menyejajarkan ungkapan tersebut dengan pemerintahan Samsul Rizal saat ini di Unsyiah. Adapun perubahaan yang sedang dilakukan oleh Samsul Rizal di Unsyiah menurut hemat penulis yang kurang manfaatnya adalah;
Kuliah Kerja Nyata (KKN) atawa Koh-koh Naleng
Plesetan terhadap KKN, koh-koh naleng sering diungkapkan oleh masyarakat pendalaman kepada peserta KKN itu. Hal ini terlihat minimnya kegiatan/pogram yang bermanfaat bagi desanya. Kegiatan ini sendiri terbatas semisalnya; pembuatan papan nama lorong, penomoran rumah, lomba cerdas cermat atau MTQ dan pembersihan meunasah yang dilakukan oleh peserta KKN. Selain kurang bermanfaatnya pogram KKN itu, sisi negatifnya mahasiswa harus mengeluarkan rupiah yang tergolong besar untuk mengikuti KKN. Tiap peserta kelompok KKN itu wajib memiliki dana sebesar Rp. 1 juta 200 ribu untuk pogram yang akan dilaksanakan nanti. Selain itu biaya konsumsi juga dibebankan kepada peserta KKN, belum lagi dengan biaya lainnya selama satu bulan peserta KKN itu berada di tempat KKN.
Di lain sisi, pogram KKN ini dianggap ‘pilih kasih’. Kenyataanya mahasiswa FKIP setelah mengikuti praktek pelaksaan lapangan (PPL) kurang lebih selama 4 bulan juga harus mengikuti KKN. Sementara mahasiswa S1 Ekonomi dan Sosial Politik hanya diwajibkan memilih antara magang atawa KKN. Di samping itu, ‘penganaktirian’ juga dirasakan oleh fakultas lainnya yakni; Hukum, Pertanian di mana mereka diwajibkan melaksanakan magang dan KKN. Selain itu fakultas yang terkenal degan glamornya pendidikan kedokteran tidak ada pogram KKN, mahasiswa pendidikan dokter itu hanya diwajibkan untuk mengikuti koas. Dan benar-benar Syamsul sedang peudeh tumpoek ek tanpa memperdulikan derita mahasiswa itu sendiri.
SPP Berdasarkan Ekonomi Orang Tua
Sering kita mendengar perkataan yang mengatakan orang miskin dilarang kuliah. Akan tetapi, perkataan itu kini dibantah oleh Samsul dengan memberikan kemudahan pembayaran SPP berdasarkan pekerjaan orang tua. Mahasiswa yang orang tuanya miskin membayar SPP dengan biaya murah yang disubsidikan oleh mahasiswa anak orang kaya. Akibatnya, penderitaan itu harus ditanggung oleh keluarga si orang kaya. Dan alangkah sayangnya, kepada penulis orang tua tersebut bercerita, dia harus membayar SPP yang tergolong besar untuk kedua anaknya yang masuk kuliah di tahun 2013 lalu.
Melalui pogram uang kuliah tunggal berkeadilan (UKT-B) yang merujuk pada peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2013, Syamsul berharap semua masyarakat Aceh bisa mengecap dunia pendidikan di perguruan tinggi. Akan tetapi, dampak dari adanya peraturan tersebut yang saat ini belum dievaluasi tentang adanya double pembayaran terhadap anaknya yang kuliah dianggap sangat memberatkannya.
Evaluasi
Penggeavaluasian harus dilakukan sejak dini oleh Syamsul untuk meningkatkan keefektifan pogram yang saat ini sedang berjalan. Azaz aspiratif pun perlu dikedepankan dalam hal pengimplementasian pogram itu sehingga tidak berkesan peudeh tumpoek ek. Syamsul diharapkapkan mengintruksi ketua badan pelaksana KKN Unsyiah, Dr Mustanir, M Sc agar tidak pilih kasih dalam memberlakukan KKN. Seperti yang sudah dituliskan di atas, KKN menjadi pilihan bagi mahasiswa pogram studi Ilmu Sosial Politik maupun mahasiswa Fakultas Ekonomi, sementara bagi mahasiswa kedokteran pogram studi kedokteran gigi, pendidikan dokter, dan ilmu keperawatan justru ditiadakan. Sementara mahasiswa FKIP setelah mengikuti PPL selama 4 bulan juga diharuskan mengikuti KKN.
Melalui pogram uang kuliah tunggal berkeadilan (UKT-B) pun harus dievaluasi dan dimintakan segara untuk direvisi, mengingat sejauh ini orang tua dari golongan mampu merasa ‘terpaksa’ mengeluarkan rupiah yang tergolong besar untuk anaknnya. Kita mengharapkan UKT-B itu hanya diberlakukan untuk satu orang mahasiswa dari keluarga yang sama kuliah di tahun yang sama, dan tidak berlaku bagi anak kedua dan seterusnya di tahun yang sama. Tentunya dengan sukarela orang tua mahasiswa tersebut akan membayarnya.
Selain itu, diharapkan pihak rektorat tidak membeda-bedakan perlakuan terhadap mahasiswanya. Seperti yang kita ketahui setelah RKU 4 menjadi milik kedokteran gigi, gedung tersebut sedianya dipasang AC sebelumnya gedung tersebut dibiarkan terbengkalai dengan pendingin ala kadarnya. Dan yang terpenting jangan terpengaruh dengan hadih manja Snouck Hurgronje peudeh tumpoek ek. Karena hadih maja itu kontradiktif dengan kehidupan bermasyarakat Aceh dan telah dianotasikan pada tahun 1977 oleh tim penganotasian hadih maja Aceh.